LAMARAN – CERPEN
LAMARAN
– CERPEN
Delia melaksanakan tugas rutinnya dengan
sepenuh hati. Mencuci, bersihkan rumah, masak, dan menyapu halaman. Hari ini
tugasnya bertambah. Harus masak banyak. Keluarga Ibu tirinya akan pulang dari
rantau dan sudah dalam perjalanan. Liburan akhir tahun. Empat keluarga besar
akan berkumpul. Rumah besar ini akan ramai. Kamar-kamar kosong itu akan riuh
dengan suara anak-anak.
Bersamaan dengan
selesainya tugas Delia, lima mobil mewah memasuki halaman. Mereka berpelukan
dan tertawa bahagia. Ada beberapa orang yang terlihat seusia Delia. Cantik,
tampan, dan terlihat sekali penampilannya dari keluarga kaya. Delia ikut
membantu membawa koper-koper mereka masuk rumah.
"Ini siapa,
Kak? Pembantu baru, ya? Cantik juga pembantu kakak." Adik Ibu Ana tersenyum
pada Delia. Delia mendekat, menyalami dengan santun.
"Ini anak
Uda Hendri. Dari istri pertama." Ibu Ana menjelaskan.
"Oh,
kakaknya Riko. Kamu manis sekali." Tangannya menepuk pundak Delia dengan
akrab.
Delia menyalami
semuanya lalu bergegas ke belakang untuk menyiapkan semua yang telah dijelaskan
Ibu tirinya sedari pagi. Selesai sudah semua tugasnya untuk saat ini. Delia
merasa kurang nyaman berada di antara kebahagiaan mereka bercerita, berbagi
oleh-oleh dan tertawa bersama. Bahagia sekali. Delia tahu diri. Dia bukan
bahagian dari mereka. Delia merasa serba salah. Membaur? Takut mengganggu
keleluasaan mereka sekeluarga. Masuk kamar? Seakan terkesan sombong.
"Bu, aku
pamit mau ke rumah Ratna sebentar."
Delia minta izin.
"Ya, jangan
lama-lama. Ingat tugasmu sore nanti." Jawab Bu Ana.
Delia pamitan
pada semuanya lalu melangkah ke rumah Ratna, sahabatnya. Usai bercanda, di
kamar Ratna, Delia tertidur. Pulas dalam lelah.
Delia kaget waktu
terbangun di sore hari. Sudah jam 17.00 WIB. Bergegas pulang dan terengah
mengetuk pintu. Pintu terbuka. Semua mata tertuju padanya. Diam. Hening. Asing.
Delia merasa bersalah terlambat pulang. Terlambat untuk tugas-tugasnya. Delia
melangkah kikuk masuk rumah. Seakan dikuliti dengan cara semua orang itu
memandangnya. Terlalu bersalahkah aku? Dia membatin.
"Delia!
Duduk di sini!" Suara Ayahnya yang biasa lembut kini menggelegar di
keheningan itu.
"Sodorkan
tanganmu!"
Delia menyodorkan
tangannya dengan seribu tanya di hati. Tanpa diduganya bertubi pukulan sebuah
penggaris menyambut tangan yang terulur ke hadapan Ayahnya. Delia hanya
menjerit di hati. Sakitnya hanya terlahir dalam bentuk bening air mata mengalir
di pipinya.
"Lancang
sekali, Kau! Anak tak tahu diri! Sudah bisa menumpang hidup di sini, malah
bikin aku malu pada keluarga ini!"
Ada apa ya,
Allah? Apa salahku? Delia meratap di hati di iringi beragam makna tatapan mata
di ruangan itu. Dalam sakitnya, dia tak diberi kesempatan bertanya apalagi
menyanggah tentang suatu hal yang dia sendiri tak tahu. Delia diseret ke mobil.
Tangannya di tarik menuju ke sebuah toko.
"Berapa kamu
jual barang itu ke toko ini? Jawab!" Ayahnya sangat marah. Seakan bukan
lagi sosok penyayang yang dia kenal.
"Barang apa,
Ayah? Aku tak mengerti. Apa salahku, Yah?" Suara Delia parau dalam isak.
"Kau masih
berkelit? Dasar anak tak...." tangan Ayahnya terangkat siap memukul.
"Jangan!
Hentikan! Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut ke tokoku?" Seorang Bapak
memegang tangan Ayah Delia dengan cepat.
"Ayo, masuk
ke dalam. Ceritakan dengan tenang masalahnya. Jangan main pukul pada anak
perempuan." Pemilik toko memberi Delia minum. Menenangkan ayah Delia dan
mengajaknya bicara. Terdengar mereka bersitegang. Lalu hening karena Delia
ambruk. Pingsan.
"Kamu
tinggal bersamaku ya, Nak. Jadilah anakku. Menantuku." Suara pertama yang
di dengar Delia sewaktu membuka mata di sebuah kamar mewah.
Delia mencubit
tangannya sendiri. Memastikan bahwa dia bermimpi.
"Ini nyata,
Nak. Kamu berada di rumahku. Selanjutnya akan jadi rumahmu bila kamu bersedia
menerima lamaran untuk anakku satu-satunya. Kalian sudah sama-sama tak punya
ibu. Aku melamarmu pada ayahmu setelah kejadian tadi. Aku kasihan pada nasibmu,
Nak. Kamu dituduh mencuri speaker mobil ibu tirimu yang baru dibeli, lalu
dijual padaku. Karena itu ayahmu marah sekali."
"Kenapa?
Kenapa aku dituduh begitu? Aku malah tak tahu bentuk barangnya, Pak."
Tangis Delia pecah lagi.
"Itulah
hidup, Nak. Yang tak kita perbuat bisa jadi seakan nyata karena fitnah.
Kebaikan yang kita lakukan tak berarti karena iri."
"Maafkan
ayah, Nak. Maafkan ayah." Sebuah pelukan memberi kenyamanan dalam
gelombang badai yang baru usai.
Oleh:
Zuldefita Zoebir
Posting Komentar untuk "LAMARAN – CERPEN"
Gambar ataupun video yang ada di situs ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut.